Jumat, 14 Maret 2014

Kamu... "Mungkin" Tepat tapi di Waktu yang Salah

Tuhan kembali melibatkanku dalam skenario kehidupan yang sama sekali tak pernah terpikirkan. Aku ingin menyebutnya "gila", tapi ini nyata dan benar adanya. 25 tahun adalah waktu yang cukup untuk kembali menyadarkanku bahwa segala yang diluar kehendakku tak ada gunanya kusesali, menikmatinya sebagai sebuah proses perjalanan menyenangkan akan membuat semuanya menjadi berharga.

Awal bertemu dengannya tak seistimewa cerita novel romantis yang pernah kubaca. Semuanya berjalan biasa saja. Secara fisik, ia cukup menarik, namun tak ada ketertarikan waktu itu, benar-bnar biasa saja, hingga akhirnya sebuah pekerjaan terpaksa melibatkan hubungan yang intensif di antara kami. Ia mulai care, komunikasi semakin nyaman, perasaan berbeda pun mulai muncul. 

Meski tak terbahasakan, tapi jauh dibalik semua yang terlihat, kami sadar kami merasakan hal yang sama. Namun semuanya menjadi sulit oleh adanya penghalang yang begitu nyata dan tak mampu kami robohkan. Ia ber-ISTRI... Seolah kami sedang berdiri diantara tembok tinggi kokoh, kemudian kami hanya mampu berbagi rasa lewat isyarat. Pikiran-pikiran gilaku tak jarang hadir, aku tidak mau peduli, walau kadang malaikat dalam diriku seolah berhasil membisikkan nasehat surga yang dibenarkan oleh logikaku namun kadang disalahkan oleh perasaanku. 

Aku menyukainya, aku menyukai suami perempuan lain, bapak dari seorang putri kecil tak berdosa. Aku tertarik, aku nyaman berhubungan dengannya. Meski hubungan yang terjalin sebatas maya, namun berhasil menghadirkan galau yang sedikit menyiksa. Terjadi lagi dilema, logika dan perasaanku kembali berperang dingin, hal yang kerap kali dilakukannya. Kali ini, rasanya aku cukup dewasa mengkompromikan perasaan dan logikaku, kunikmati saja, tanpa berusaha kuhentikan. 

Mungkin saja baginya, aku tak sepolos yang kutampilkan selama ini, ia mungkin punya justifikasinya sendiri. entah aku murahan baginya, entah aku tak berperasaan menurutnya, aku tak mau peduli, aku hanya ingin menikmati perasaan "gila" ini. Sudah terlalu lama kubiarkan hidupku didominasi oleh logikaku, sudah saatnya kubiarkan perasaanku mengambil perannya. Aku tak mau lagi terlalu banyak berpikir tentang resiko yang bahkan belum terjadi. Aku ingin membiarkannya mengalir saja. Aku tidak mau lagi takut jatuh, karena jatuh ternyata bisa menjadi awal kebangkitan yang begitu manis.

Ia sama denganku, ia cukup sadar, perasaan ini melanggar etika. Namun kami tau perasaan bukan sesuatu yang bisa dikontrol, ia bisa hadir kapanpun, di manapun, di kondisi bagaimanapun, dan dengan siapapun. Meski sering sekali terjadi perdebatan tentang salah benarnya, pasti tidaknya, kemana arahnya dan seperti apa maunya, toh kami memilih menikmatinya hingga tiba waktunya kami berhenti....
Berhenti, karena ini salah...

"we'll never together but we can share the same feeling Mr. B"